Sektor Industri Jadi Tulang Punggung Perekonomian Nasional

22-01-2014 / KOMISI VI

Dibanding UU Perindustrian lama (UU No.5/1984), UU Perindustrian baru punya paradigma baru dengan menjadikan sektor industri sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Untuk itu, industri yang coba didorong ke depan adalah industri yang memiliki kedalaman struktur, yaitu yang menguasai industri hulu hingga hilir dan berdaya saing tinggi.

Demikian disampaikan Ketua Komisi VI DPR RI Airlangga Hartarto (F-PG), baru-baru ini di ruang kerjanya. Industri yang coba didorong tersebut harus memiliki basis bahan baku dalam negeri, basis tenaga kerja, dan basis energi. Industri semacam inilah yang sangat visible untuk dibangun di Indonesia.

Dalam rumusan UU Perindustrian baru ini, juga telah dirumuskan tentang pembangunan sentra-sentra industri di daerah. Kelak, ada wilayah pusat pertumbuhan industri, pengembangan kawasan peruntukan industri, pembangunan kawasan industri, dan pengembangan sentra industri kecil menengah.

“Jadi, sentra industri itu menjadi sesuatu yang penting. Industri harus berdiri pada wilayah tertentu. Hal ini juga diatur dalam UU,” jelas Airlangga. Sementara untuk pengembangan industri kecil tentu sudah mendapat perhatian yang cukup. Industri kecil tidak bisa dilepaskan begitu saja untuk bersaing dengan industri besar.

Keberpihakan pada industri kecil menangah terlihat dari rumusan Bab VIII, Pasal 72-76. Di tangan pemerintahlah pemberdayaan industri kecil menengah dilakukan. “Apalagi nanti masuk 2015 ada pasar terbuka ASEAN. Jangan sampai UKM kita kalah sama UKM-UKM negara lain,” harap Airlangga.

Bahkan, industri hijau juga mendapat perhatian serius dalam UU ini. Industri hijau adalah yang produknya ramah lingkungan dengan meminimalisir limbah atau memanfaatkan bahan daur ulang. Ada apresiasi yang bisa diberikan untuk para pelaku pengembangan industri hijau ini. Menurut Airlangga, mereka bisa diberikan benefit fiskal tertentu.

Pada bagian lain, Airlangga juga memaparkan tentang pentingnya penggunaan produk dalam negeri. UU Perindustrian baru tersebut sudah cukup memberi perhatian soal ini. Harus ada keberpihakan pada produk dalam negeri yang digariskan dalam bentuk TKDN (tingkat kandungan dalam negeri).

Belanja barang oleh pemerintah maupun Pemda harus mengutamakan produk dalam negeri. Ini demi pemberdayaan industri dalam negeri, walupun harganya sedikit lebih mahal. Secara rinci hal ini dibahas dalam pasal 85-90 UU Perindustrian yang baru.

“Jadi, dalam setiap produk itu diharapkan ada prosentase tingkat produk dalam negerinya. Pemerintah saat melakukan pembelian barang diberikan keleluasaan untuk memilih produk dalam negeri dengan nilai tertentu, walaupun, misalnya, produk dalam negeri itu harganya lebih tinggi sedikit daripada produk impor. Di sinilah adanya semangat keberpihakan,” tutur Airlangga. (mh), foto : iw/parle/hr.

BERITA TERKAIT
Asep Wahyuwijaya Sepakat Perampingan BUMN Demi Bangun Iklim Bisnis Produktif
09-01-2025 / KOMISI VI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir berencana akan melakukan rasionalisasi BUMN pada tahun 2025. Salah...
147 Aset Senilai Rp3,32 T Raib, Komisi VI Segera Panggil Pimpinan ID FOOD
09-01-2025 / KOMISI VI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan raibnya 147 aset BUMN ID Food senilai Rp3,32 triliun. Menanggapi laporan tersebut,...
Herman Khaeron: Kebijakan Kenaikan PPN Difokuskan untuk Barang Mewah dan Pro-Rakyat
24-12-2024 / KOMISI VI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen akan mulai berlaku per 1 Januari 2025. Keputusan ini...
Herman Khaeron: Kebijakan PPN 12 Persen Harus Sejalan dengan Perlindungan Masyarakat Rentan
24-12-2024 / KOMISI VI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron menyoroti pentingnya keberimbangan dalam implementasi kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai...